WELCOME! Salam Sejahtera! Senang sekali mendapat kunjungan dari Anda. Berikan komentar Anda di akhir setiap posting (klik link: write your comment here!), komentar Anda sangat berharga bagi saya. Terima Kasih. Please Enjoy...

HOT Search

HOT Translate

THE CENTER OF EDUCATION

>> Wednesday, December 10, 2014

Tulisan Acep Iwan Saidi (Kompas, 2 Desember 2014) dalam responnya terhadap pidato Mendikbud, Anies Baswedan pada hari Guru, memaknai pesan Mendikbud dengan memposisikan Guru sebagai pusat dalam pendidikan.

Guru merupakan bagian yang penting dalam suatu sistem pendidikan, bahkan menjadi sangat penting dalam keberadaannya di antara para anak didiknya. Guru, ia memberikan teladan di hadapan para siswanya, dari belakang ia memberikan dorongan dan di antara mereka ia memberikan membangun semangat, demikian kata Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Tanpa guru pemimpin-pemimpin bangsa ini tidak akan pernah lahir. Sungguh mulia panggilan seorang guru. Memang tepat langkah Mendikbud untuk menempatkan ulang profesi guru pada tempat yang seharusnya baik oleh pemerintah maupun masyarakat luas. Hanya saja, kita semua juga perlu berhati-hati mengenai posisi guru ini.

Walaupun guru merupakan faktor penting dalam pendidikan tetapi ia bukan merupakan pusat dalam pendidikan. Jika pusat berarti salah satu dari fokus, inti, induk atau pokok, maka tidaklah tepat menempatkan guru sebagai pusat dari pendidikan. Guru bukanlah fokus pendidikan, ia juga bukan inti pendidikan, bukan juga induk atau pokok pendidikan. Guru sangat penting, tetapi ia tidak seharusnya diposisikan sebagai pusat pendidikan. Sebuah sistem pendidikan yang berpusat kepada guru akan membawa arah pendidikan ke arah yang tidak semestinya.

Guru memang harus sejahtera. Kesejahteraan guru, terutama di daerah, memang belum mencukupi; tetapi tidak berarti kita harus memposisikan guru sebagai pusat pendidikan. Guru tidaklah pernah dididik untuk memiliki mental dilayani, melainkan melayani. Guru yang bekerja di bawah UMR tidak pernah mogok demi uang semata, tetapi ia tahu ada sejumlah anak di sana yang membutuhkan teladannya saat masa sulit menerpa. Guru tetap melayani. Inilah salah satu kemuliaan profesi guru. Namun sekali lagi, guru bukanlah pusat pendidikan.

Guru memang harus ditingkatkan kualitasnya, baik secara pedagogis maupun secara kepribadian. Namun sekali lagi guru bukanlah barang pabrikan yang perlu dicekoki banyak pelatihan dan pendidikan. Dengan segala keterbatasan, penulis sangat menaruh hormat dan keseganan yang besar pada guru yang penuh dengan keterbatasan di ujung pelosok negeri ini. Mereka mengajar dengan hati, bukan dengan metodologi terkini atau kecakapan dari bangku kuliah. Guru tetap mengabdi. Inilah juga kemuliaan profesi guru, tetapi hal ini juga tidak cukup untuk menjadikannya sebagai pusat pendidikan.

Guru memang harus dihargai. Pekerjaan memuliakan anak didik dari nothing into something hanya dapat dilakukan oleh seorang berhati guru dalam arti luas. Suatu saat dalam masa dewasa seseorang, ia akan kembali mengingat sentuhan, perkataan dan teladan gurunya. Tidak bisa tidak, ia akan mengenangnya sebagai sebentuk penghargaan pada gurunya. Seumur hidupnya sang guru melihat anak-anak didiknya menjadi orang yang berhasil, dan ia tetap di sana, mendidik hingga waktunya usai. Guru tetap memberi. Penghargaan kepada guru untuk menjadikannya sebagai pusat pendidikan, sekali lagi tidak tepat untuk diberikan kepadanya.

Dalam masa datang penulis berharap, baik pemerintah maupun masyarakat tidak menjadikan guru sebagai pusat dari pendidikan, tetapi cukup sebagai bagian penting dari sistem dan proses pendidikan. Mengapa? Karena guru juga manusia, ia masih bisa gagal, salah, menyimpang bahkan berdosa. Celakahlah bila kita menjadikan pusat pendidikan bangsa yang besar ini pada sebuah profesi yang notabene diemban oleh manusia. Pusat pendidikan tidak boleh gagal, salah, menyimpang bahkan berdosa; karena ia akan menjadi fokus, inti, induk atau pokok dari keseluruhan sistem dan proses pendidikan. Jadi apakah yang layak menjadi pusat suatu sistem pendidikan? Tidak bisa tidak, pusat pendidikan haruslah sesuatu yang tidak bisa gagal, salah, menyimpang dan berdosa; dan kita tidak dapat berdalih lagi bahwa semua atribut itu hanya melekat kepada yang Ilahi dan bukan yang manusiawi.

Sebagai bangsa yang majemuk, kita patut bersyukur dengan landasan negara kita, yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah satu sila dalam Pancasila. Hal ini jugalah yang perlu merasuk ke dalam filsafat, cara pandang, sistem dan praktik pendidikan di bangsa ini, menjadi pusat dari pendidikan di Negara Indonesia.

Di sinilah pekerjaan terberat Mendikbud dimulai, bagaimana landasan negara yang menjadi pengikat kemajemukan bangsa dapat diamalkan dengan baik dan tepat tanpa menimbulkan dampak negatif akibat kesalahkaprahan penerjemahan sila pertama itu. Peran guru sangat penting, namun peran Yang Ilahi adalah yang terpenting dan tidak tergantikan dalam sebuah sistem pendidikan. Pekerjaan rumahnya adalah: bagaimanakah pemerintah akan menerjemahkan hal ini di dalam Sistem dan Kurikulum Pendidikan dengan tepat?

Finland Phenomenon vs Kurikulum 2013

>> Wednesday, April 24, 2013

Telah beberapa tahun terakhir ini, arah jarum mata angin dunia pendidikan menuju ke salah satu negara di wilayah balkan, Finlandia.


Negara yang berpenduduk hanya 5,4 juta jiwa ini terlihat kecil dibanding negara Indonesia yang jumlahnya menjelang 250 juta jiwa. Sebagian besar warganya tinggal di wilayah selatan karena di bagian utara banyak wilayahnya ditutupi es dan bersuhu sangat dingin. Secara umum masyarakat dunia lebih mengenal Finlandia melalui produk telepon genggam kenamaan, NOKIA. Firma Pendidikan Pearson mendapuk Finlandia sebagai negara terbaik dalam bidang pendidikan (sumber), di antara negara-negara maju, sedangkan negara super power, Amerika Serikat berada pada urutan ke 17 dari 20 negara

Menurut Pearson, Finlandia memiliki nilai atau kepercayaan yang berbeda dalam menerapkan sistem pendidikannya, setidaknya terangkum dalam lima temuan berikut (sumber):
1. Tidak ada Resep Mujarab, sistem dijalankan secara sederhana.
2. Rasa hormat pada Guru
3. Budaya dapat diubah
4. Orang Tua bukanlah hambatan ataupun penyelamat dalam pendidikan
5. Mendidik untuk masa depan dan bukan hanya masa kini.

Beberapa hal penting dan menarik lainnya dari pendidikan di Finlandia adalah:
1. Hampir sama dengan Korea Selatan, yang berada pada urutan kedua terbaik, sistem pendidikan tidak didasarkan pada jumlah anggaran yang besar, tetapi pada kepercayaan dan kesepakatan yang besar bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting dan berlandaskan tujuan moral.
2. Tidak ada tes atau ujian standarisasi apapun bagi siswa.
3. Siswa diberikan dukungan sosial yang sangat memadai seperti makanan dan pelayanan kesehatan gratis.
4. Calon guru diberikan beasiswa penuh plus biaya hidup selama tiga tahun menempuh kuliah.
5. Sebanyak setengah waktu kerja yang dihabisan guru di sekolah adalah untuk pengembangan profesi, perencanaan pembelajaran dan bekerjasama dengan orangtua.
6. Dari 700 halaman panduan kurikulum nasional yang pernah ada, kini rujukan kurikulum bagi sekolah-sekolah tersebut hanya berisi 10 lembar saja.
7. Sekolah memiliki tingkat otonomi yang relatif rendah.
(sumber1, sumber 2)

Film dokumenter berikut ini mungkin dapat merangkum dan menjelaskan apa yang sedang sebenarnya terjadi di Finlandia:



Di tengah-tengah kekaguman negara-negara maju atas kemajuan pendidikan di Finlandia, sebuah negara di Tenggara Asia tengah bergulat untuk menebus kekacauan penyelenggaraan UN 2013. Proses tender pencetakan soal, distribusi naskah soal hingga kecurangan 'berjamaah' yang dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia menjadi sorotan media masa. Ujian Nasional, yang dilaksanakan pemerintah ini memiliki kekuatan yang luar biasa untuk meluluskan siswa ke jenjang berikutnya. Hal ini berdampak pada perilaku siswa peserta UN yang tiba-tiba menjadi religius, walaupun pada prakteknya tidak sedikit yang justru menunjukkan perilaku yang bertentangan.

Belum tuntas dengan UN, tentunya wacana kurikulum 2013 masih menjadi topik hangat. Saya telah membahasnya pada posting sebelumnya, ada banyak penerapan pelaksanaan kurikulum yang bertolak belakang dari apa yang dikerjakan di Finlandia, misalnya:
1. Jam belajar siswa. Di Finlandia, jam belajar relatif lebih pendek dari negara-negara maju lainnya (sumber). Pada kurikulum 2013, pemerintah menyatakan akan menambah jam belajar anak!
2. Pelatihan guru. Di Finlandia, seperti disebutkan di atas, kehidupan dan profesionalitas guru sangat dinomorsatukan dan terjamin. Di Indonesia, kehidupan guru, apalagi yang di pelosok sangat menyesakkan dada dan nyaris tidak mengikuti pelatihan-pelatihan yang bermutu dan relevan.
3. Mata pelajaran. PISA, sebuah lembaga assessment internasional menunjukkan Finlandia berada pada rangking ke 3 dalam kemampuan membaca (2009) dan Indonesia ke 57. Sedangkan Sains, Finlandia di urutan ke 2 dan Indonesia ke 58. Finlandia membedakan kedua mata pelajaran tersebut dan memiliki jam pelajarannya masing-masing. Indonesia? Bahasa Indonesia dan Sains digabung menjadi satu kesatuan. Setidaknya ada dua persoalan muncul dari keputusan ini: Guru yang mengajar harus seorang guru bahasa atau guru sains? kedua indikator penilaian yang digunakan bahasa atau sains? atau gabuangan keduanya? membingungkan...

;dan masih banyak hal lainnya.

Kalau anggota DPR rajin menyambangi negara-negara Eropa demi 'studi banding' untuk kasus pasal tentang santet, mengapa mereka atau kemdiknas tidak mengunjungi Fnlandia sebagai benchmark bidang pendidikan yang tentunya lebih bermanfaat.

Apa komentar Anda tentang hal ini?




A Comment to KURIKULUM 2013 Draft

>> Wednesday, December 5, 2012



 Tepat tanggal 29 November lalu pemerintah melalui kementrian penddidikan nasional menggelar uji publik atas rancangan kurikulum 2013. Uji publik dilakukan dengan tatap muka antara masyarakat dan pemerintah, dialog virtual dan secara tertulis. Beberapa hal menarik menyangkut uji publik ini adalah mengenai dialog virtual dan format dokumen rancangan kurikulum yang dapat diunduh dari situs kemendiknas. Di samping cara penyampaian yang unik, tentunya banyak hal menarik yang dapat dikritisi mengenai isi slide rancangan kurikulum 2013 tersebut.

Tidak pada umumnya sebuah uji publik atas rancangan kurikulum 2013 dipaparkan dalam format slide. Mengingat hal ini adalah sebuah kebijakan nasional, seharusnya disertakan pula sebuah dokumen rancangan perundangan atau petunjuk teknisnya. Hal ini setidaknya memberikan kesan bahwa rancangan dibuat dengan waktu yang tidak memadai. Format slide ini juga tidak memberikan informasi yang utuh sehingga dapat menimbulkan salah persepsi kepada publik mengenai dasar-dasar kebijakan perubahan kurikulum.

Kesempatan untuk melakukan dialog virtual melalui situs kemdiknas sebenarnya hanyalah sebuah monolog alias pemberian kesempatan pembaca situs untuk memberikan komentar atas slide yang tersedia di situs. Seperti yang dipahami secara umum, dialog merupakan  percakapan dua arah setidaknya antara dua pihak. Jaminan atas terbaca dan terbalasnya setiap komentar yang ditulis di situs nyaris tidak ada, mengingat tidak tersedianya kepastian kapan dan bagaimana komentar akan dibalas.

Hal menarik pertama yang segera terlihat melalui slide rancangan kurikulum 2013 adalah kesan ambisius perancang kurikulum yang ingin meyakinkan  pembaca dengan memberikan cukup banyak slide yang menjelaskan tentang pentingnya perubahan jam pelajaran. Hal ini dapat mulai dilihat pada slide ke-11, alih-alih memberikan penjelasan yang memadai mengenai hal esensial yang melatarbelakangi perubahan kurikulum, perancang slide menempatkan isu jam pelajaran pada bagian awal slidenya. Penjelasan pada slide berikutnya pun cenderung tendensius mengupas fakta-fakta statistik mengenai pentingnya jam pelajaran perlu diubah.

Padahal bila kita cermati, perubahan jam pelajaran sebenarnya tidak memberikan efek yang signifikan kepada kualitas pendidikan. Negara Finlandia dan Korea Selatan yang dianggap maju dalam pendidikan di dunia saat ini justru tidak memiliki jam pelajaran seperti yang akan dilaksanakan oleh pemerintah nanti. Kenyataannya, mereka menggunakan sejenis standar kepatutan dalam menentukan jam pelajaran untuk mata pelajaran tertentu. Bahkan lebih jauh lagi, alih-alih menambahkan jam pelajaran pada mata pelajaran tertentu, kedua negara ini lebih mementingkan bagaimana meningkatkan kualitas guru-gurunya. Ironinya, slide yang membicarakan mengenai bagaimana meningkatkan kualitas guru hanya terbatas pada rencana implementasi kurikulum baru, yang sebenarnya bukan berbicara mengenai meningktkan kualitas guru tetapi sejenis mengadakan pelatihan guru untuk menyesuaikan mereka kepada kurikulum baru.

Pemerintah terlihat kurang memperhatikan kebijakan mengenai kualitas guru. Gambar besar mengenai bagaimana guru-guru dapat secara terus-menerus mendapatkan peningkatan keterampilan dan profesionalitas tidak tergambar secara jelas. Adapun program sertifikasi guru yang dilaksanakan selama ini melalui PLPG, hanya merupakan sejenis standarisasi profesionalisme guru, yang tentunya hasilnya juga masih bisa diperdebatkan kualitas hasilnya. Perancangan atas program pelatihan guru yang sistematis dan bertujuan sangat diperlukan, sehingga kurikulum 2006, KTSP, dapat diaplikasikan dengan mudah oleh para guru dan bermanfaat bagi para siswa.

Ada apa dibalik ke-ngotot-an pemerintah merubah jam pelajaran?

Hal menarik lainnya adalah:
1. peniadaan pelajaran bahasa Inggris;
2. penambahan jam pelajaran untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, Agama dan PKN;
3. penggabungan IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia; dan
4. sumber belajar

Pelajaran bahasa Inggris di tingkat SD ditiadakan karena pemerintah ingin agar para siswa dapat menguasai bahasa ibu lebih baik. Kebijakan ini menjadi berlawanan bilamana kita melihat alasan pengembangan kurikulum pada slide 17. Pada slide tersebut ditulis bahwa salah satu alasan kurikulum ini perlu dikembangan karena adanya beberapa tantangan masa depan, seperti: Globalisasi, kemajuan dan konvergensi iptek, serta pergeseran ekonomi dunia. Apakah sang perancang draft kurikulum ini tidak melihat alasan ini (yang mereka tulis sendiri) sebagai alasan yang kuat untuk tetap mempertahankan mata pelajaran bahasa inggris pada tingkat SD?

Hal lainnya adalah penambahan mata pelajaran bahasa Indonesia, agama dan PKN. Asalkan implementasinya tepat, untuk mata pelajaran bahasa Indonesia dan PKN tidak menjadi terlalu bermasalah. Masalah yang besar akan muncul saat pelajaran Agama yang ditambah. Penambahan pelajaran agama yang menurut pemerintah adalah untuk menangkal masalah-masalah sosial sebenarnya merupakan kesalahan besar. Pertama, guru-guru agama yang tidak siap atau tidak benar akan mengakibatkan negara semakin terpecah belah, masyarakat semakin radikal dan fundamental, dan justru akan menimbulkan masalah-masalah sosial yang lebih tajam di masa datang.Kedua, sekolah sebaiknya tidak mengambil 'jatah' keagamaan lebih banyak dari lembaga yang seharusnya lebih mumpuni dan layak untuk mengajarkan agama. Dengan ditambahnya jam pelajaran pada pelajaran agama ini, sama saja dengan mengaggap impoten lembaga keagamaan yang ada.Ketiga, secara historis tidak pernah ada pelajaran agama yang banyak menimbulkan penurunan signifikan pada masalah-masalah sosial. Sebaiknya, pemerintah setidaknya merevitalisasi pelajaran PKN dengan mengembangkan nilai-nilai PANCASILA.

Kebijakan mengenai penyisipan pelajaran IPA dan IPS ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia pada tingkat SD merupakan hal yang lebih aneh lagi. Mungkin Indonesia akan menjadi negara pertama di dunia yang menyisipkan IPA dan IPS ke dalam pelajaran bahasananya. Bahasa memang penting tetapi pelajaran keilmuan juga merupakan hal yang juga penting untuk dikenalkan sejak dini, sehingga siswa dapat memiliki tradisi keilmuan yang kuat sejak dini seperti yang dimiliki oleh siswa-siswa di negara maju.

Temuan menarik lainnya adalah mengenai sumber belajar, tertera jelas pada slide 25, bahwa guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar, dan hal ini benar adanya. Siswa perlu mendapatkan akses belajar pada sumber-sumber lain. Namun anehnya, pada slide 83, pemerintah seolah-olah akan menyiapkan buku sebagai sumber belajar bagi siswa. Melalui media masa, ternyata diketahui, pemerintah ingin menghambat laju penerbit buku pelajaran yang membuat guru dan sekolah menjadi penjual buku. Namun demikian, seharusnya bukan berarti semua buku harus diadakan oleh pemerintah. Jika demikian, bisa-bisa sumber belajar satu-satunya adalah buku dari pemerintah, sebuah implementasi bak negara sosialis.

Tentunya masih banyak hal yang dapat dikritisi mengenai kurikulum ini, semua kritik ini diberikan dalam rangka memberikan sudut pandang lain bagi pembuat kebijakan, para pemerhati pendidikan serta konsumen lembaga pendidikan. Bilamana terdapat kekeliruan, tentu saja dapat dilakukan perbaikan atas komentar ini. Semoga bermanfaat, maju pendidikan Indonesia!


POSITIVISM IN STUDENT'S REPORT CARD

>> Tuesday, December 4, 2012

Posting kali ini adalah sebuah paper yang saya kumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, semoga bermanfaat buat para pembaca...

KRITIK TERHADAP BENTUK LAPORAN EVALUASI HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK DI INDONESIA

Abstrak
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menyelidiki laporan evaluasi hasil belajar siswa atau lebih dikenal dengan rapor. Tulisan ini akan mencari tahu apakah rapor di Indonesia ini telah secara efektif menjawab esensi dari peran evaluasi dalam sistem pendidikan dan apakah jawaban atas problematikanya. Pembahasan terlebih dahulu dilakukan dengan memberikan uraian atas pandangan yang mendasari Undang-undang dan aturan pemerintah lainnya mengenai tujuan evaluasi pendidikan di Indonesia. Selanjutnya dipaparkan mengenai persoalan yang terdapat dalam aturan-aturan tersebut yang berdampak pada bentuk rapor saat ini. Secara umum, format rapor yang digunakan saat ini dianggap belum mampu memenuhi esensi dari evaluasi secara utuh, karenanya rapor perlu diberikan pelengkap. Pelengkap rapor ini akan memberikan pemahaman lebih mendalam atas proses belajar siswa.

Pendahuluan
Di Indonesia, evaluasi atau penilaian dipahami sebagai salah satu bagian dari rangkaian proses belajar peserta didik atau siswa di sekolah (UU No.20/2003). Proses dan kemajuan belajar siswa dievaluasi melalui beragam alat evaluasi pada periode-periode tertentu di sekolah. Pendidik di sekolah atau guru melakukan evaluasi atas proses belajar siswa, mendokumentasikan dan melaporkan hasilnya kepada orang tua. Pada penghujung semester siswa akan menerima laporan hasil belajar atau rapor yang berisi pencapaian-pencapaian siswa selama satu semester pada mata pelajaran-mata pelajaran yang mereka ikuti.

Pada siswa kelas akhir di setiap jenjang, yaitu kelas 6, 9 dan 12; evaluasi juga diselenggarakan oleh pemerintah dalam bentuk Ujian Nasional. Evaluasi ini menentukan kelulusan siswa untuk masuk ke jenjang selanjutnya. Hasil evaluasi tahap akhir ini dituangkan ke dalam SKHTB atau Surat Keterangan Hasil Tamat Belajar.

Secara sepintas, sistem pelaporan evaluasi peserta didik yang dijalankan di Indonesia ini terlihat baik adanya. Namun bilamana dipahami lebih dalam, baik format rapor atau SKHTB yang digunakan saat ini mengandung persoalan yang menyangkut esensi dari tujuan evaluasi. Apakah format rapor dan SKHTB yang berisi angka-angka telah cukup mampu menjelaskan atau tepatnya memberikan makna pada proses pembejalaran yang telah siswa lalui.

Tulisan ini akan memaparkan dan menguraikan tujuan evaluasi dan bentuk pelaporan hasil evaluasi peserta didik di Indonesia. Setelah itu, kedua hal tadi akan direfleksikan secara epistemologis, dan apakah prinsip-prinsip pada metode hermeneutik dapat diterapkan dalam pelaporan hasil evaluasi peserta didik.

Positivisme
Sebelum membahas lebih jauh kepada esensi tujuan evaluasi peserta didik di Indonesia. Kita akan memahami sebuah pandangan epistemologis yang diduga kuat melatar belakangi tujuan evaluasi ini, yaitu Positivisme.

Positivisme merupakan pandangan yang lahir pada abad ke-19. Istilah ini diperkenalkan oleh seorang filsuf bernama Auguste Comte (1789-1857), yang berkebangsaan Perancis (Hardiman, 2011). Menurut Hardiman (2003), sederhananya Positivisme berpandangan bahwa pengetahuan adalah apa yang berdasarkan fakta objektif. Dengan kata lain, Positivisme sebenarnya merupakan paham empirisme yang diradikalkan, maksudnya paham ini tidak lagi bisa menerima hal-hal yang melampaui hal-hal yang faktual seperti seni, etika, spiritualitas, dll. Dalam semua wilayah pengetahuan, hal-hal yang faktuallah yang dapat disebut pengetahuan.

Dengan demikian terhadap ilmu-ilmu atau ‘wilayah’ sosial, positivisme juga menggunakan pengandaian dasar dari penelitian ilmu-ilmu alam seperti: pengambilan distansi penuh antara objek yang diteliti dan peneliti; objek merupakan fakta netral yang bersih dari unsur-unsur perasaan, moral, dll; kemampuan untuk memanipulasi objek; dan hasil manipulasi yang dapat dijadikan sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum yang niscaya (Hardiman, 2003).

Dengan kata lain positivisme sangat menekankan sisi metodologis. Pengandaian-pengandaian dasar di atas oleh para positivis berusaha untuk diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial. Metode ini digunakan agar ‘wilayah’ sosial dapat dikendalikan dan dimanipulasi sebagaimana diterapkan dalam ilmu-ilmu alam sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang bersifat teknis.

Kritik atas Positivisme
Dalam perkembangannya, Posistivisme mengalami kritik. Salah satu kritik epistemologis yang paling keras disuarakan oleh Juergen Habermas, seorang filsuf Jerman, melalui Teori Kririknya yang juga sebenarnya memiliki keterkaitan dengan metode Hermeneutik dan fenomenologi. (Hardiman 2003).

Untuk sampai pada metode hermeneutik, kita perlu memahami terlebih dahulu teori Wilhem Dilthey (1833-1911) mengenai ekspresi pemahaman dan ilmu-ilmu budaya. Dalam kritiknya ia menyampaikan bahwa  tidaklah mungkin ilmu atau ‘wilayah’ sosial dipahami dengan menggunakan metode ilmu-ilmu alam.

Hal ini dikarenakan ‘wilayah’ sosial memiliki kepentingan praktis dan berparadigma komunikasi yang berorientasi untuk pemahaman (Verstehen); sedangkan ‘wilayah’ alam memiliki kepentingan teknis dan berparadigma kerja yang berorientasi untuk keberhasilan. Oleh karenanya, ilmu-ilmu sosial, menurut Dilthey tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam. Ia menyuguhkan metode Hermeneutik yang terinspirasi dari Friedrich Schleiermacher untuk diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial (Hardiman, 2004).

Hermeneutik secara bebas diartikan sebagai penafsiran atas sebuah teks yang kurang jelas untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas. Teks di sini bukan hanya dalam arti harafiah berupa tulisan, tetapi juga segala sesuatu yang bersinggungan dengan kehidupan sosial manusia, seprti fenomena-fenomena, lingkungan, situasi, hubungan, maupun manusia itu sendiri. Manusia cenderung melakukan penafsiran terus menerus dan cenderung untuk memberi makna, inilah yang disebut memahami(Hardiman, 2003).

Metode Hermeneutik ini mengalami perkembangan yang menarik, mulai dari hermeneutik romantis hingga kontemporer:

…Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai identifikasi, sehingga menafsirkan tes merupakan tugas reproduktif: menghadirkan kembali seluruh perasan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi. Gadamer memperlihatkan bahwa pandangan ini tidak tepat. Ia melihat menafsirkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
... suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau dan masa depan demi manfaatnya untu masa kini. (Hardiman 2003)

Dengan demikian, dalam wilayah ilmu-ilmu sosial akanlah lebih tepat bilamana metode hermeneutik ini diterapkan untuk memperoleh pengetahuan, dalam hal ini makna.

Positivisme dalam Tujuan Evaluasi Peserta Didik di Indonesia
Dengan memahami adanya pandangan positivisme beserta problematikanya dalam ilmu sosial, termasuk pendidikan, sekarang dapatlah kita melihat lebih jeli tentang tujuan evaluasi peserta didik di Indonesia. Pemahaman akan tujuan evaluasi ini akan berdampak pada sistem pelaporannya.

Berdasarkan Permendiknas No. 20 tahun 2007 pada Lampiran bagian F dan G, praktek evaluasi yang berjalan saat ini setidaknya tergambar sebagai berikut: peserta didik yang telah mengalami proses pembelajaran di dalam kelas dalam rentang waktu tertentu akan dievaluasi proses belajarnya oleh sang guru dengan menggunakan berbagai alat tes. Mulai dari kuis, pekerjaan rumah, tugas, ulangan harian, ulangan tengah semester hingga ulangan akhir semester; bilamana ada, juga ulangan kenaikan kelas atau ujian nasional.

Pada akhirnya didapatlah hasil belajar siswa yang kemudian dilaporkan dalam berbagai bentuk pelaporan kepada orang tua. Secara tipikal, bentuk laporan evaluasi hasil belajar atau rapor siswa mengandung angka-angka atau nilai-nilai pencapaian per mata pelajaran.
Sesuai dengan UU no.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab XVI, bagian kesatu, pasal 57-59 mengenai evaluasi, di sana tertera kebijakan mengenai Penyelenggaraan Evaluasi bagi peserta didik:
 
Pasal 57
(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.
Pasal 58
(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.
Pasal 59
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.


Dalam kesempatan ini, kita akan menyoroti dua pasal pertama, yaitu pasal 57 dan 58, karena kedua pasal ini berhubungan langsung dengan sistem evaluasi dan bentuk pelaporannya.

Dari kedua pasal di atas setidaknya kita dapat mengetahui tujuan evaluasi. Evaluasi bertujuan mengandalikan mutu pendidikan secara nasional (57 ayat 1) dan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik (58 ayat 1).

Dengan mencermati produk-produk perundangan yang menyangkut sistem evaluasi, baik UU No.20/2003, PP No.19/2005 atau Permendiknas No. 20/2007, aturan-aturan ini cenderung merujuk kepada ciri-ciri pandangan positivistik:
1.    Tujuan Evaluasi: evaluasi belajar siswa dimanfaatkan untuk mengendalikan mutu pendidikan.
2.    Bentuk Laporan Evaluasi: Bentuk pelaporan evaluasi hasil belajar siswa (rapor atau SKHTB) yang direduksi pada dimensi kognitif dan diukur secara kuantitatif pada setiap mata pelajaran.
Pada kedua temuan di atas, telihat jelas, bahwa baik tujuan evaluasi belajar maupun bentuk laporan evaluasi belajar sangat dekat dengan metodologi yang digunakan pada ilmu-ilmu alam (Eklaren) dibandingkan ilmu-ilmu sosial (Verstehen).

Hasil evaluasi lebih condong digunakan untuk bagaimana mengendalikan mutu pendidikan daripada menafsirkan dan memahami apa yang sedang terjadi pada peserta didik. Hal ini sangat dimungkinkan karena bentuk laporan evaluasi terdiri atas angka-angka yang ‘mewakili’ hasil dari proses belajar siswa. Dengan kata lain evaluasi lebih berorientasi pada pemanfaatan hasil dari pada proses belajar.

Melalui rapor, hasil belajar siswa direduksi kepada ranah kognitif yang sebenarnya tidak mampu mencerminkan siswa dan kemampuan siswa yang seutuhnya.  Demikian juga pada hasil UN, keberhasilan siswa melampaui suatu jenjang pendidikan diukur melalui suatu alat tes di akhir jenjang pendidikannya. Orientasi pada keberhasilan adalah salah satu ciri pandangan positivisme.

Alternatif Pendekatan dalam Pelaporan Evaluasi Hasil Belajar Siswa
Penjelasan pada bagian ini tidak akan berujung pada saran perombakan total tujuan sistem evaluasi maupun penghapusan bentuk laporan hasil evaluasi belajar yang selama ini telah ada. Namun bagian ini akan lebih menunjukkan bahwa tujuan dan bentuk laporan hasil evaluasi siswa saat ini belum cukup dan perlu mengalami perbaikan.

Tujuan evaluasi yang bermuara pada peran pengendalian dan laporan evaluasi hasil belajar siswa (rapor) yang tereduksi hanya di ranah kognitif belum cukup untuk menjelaskan secara memadai perkembangan dan kemajuan pembelajaran siswa. Padahal informasi mengenai perkembangan dan kemajuan siswa sangatlah penting dalam proses evaluasi. Informasi ini akan menolong baik siswa maupun orangtua dan guru mengenai hal apa yang masih perlu diperbaiki dan hal yang perlu mengalami perhatian khusus.

Sudah selayaknya  rapor memberikan penjelasan yang lebih utuh dari rapor tradisional yang hanya berupa angka atau huruf. Angka dan huruf tidak mampu menjelaskan perkembangan dan kemajuan siswa, ia hanya menjelaskan pencapaian akhir belajar siswa. Tidak salah jika sekarang ini tujuan evaluasi adalah untuk pengendalian, dalam hal ini pengendalian atas hasil belajar siswa atau nilai; karena tanpa data kuantitatif tersebut, pengendalian akan sulit untuk dilakukan.

Satu hal penting yang dilupakan untuk dipahami adalah, evaluasi bukan semata-mata ditujukan untuk fungsi pengendalian, tetapi juga sebagai alat untuk memahami perkembangan dan kemajuan siswa dalam proses belajarnya. Pemahaman terhadap proses belajar siswa dari pada pengendalian hasil belajar siswa akan memberikan keuntungan yang besar baik bagi siswa maupun orangtua dan guru. Setidaknya, tindakan remediasi dan perbaikan dapat dilakukan dengan tepat sasaran sehingga siswa dan orangtua dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi kemajuan dan perkembangan belajar siswa.

Di sinilah peran metode hermeneutik menjadi sangat penting dipahami oleh guru. Siswa sebagai teks, perlu dipahami secara menyeluruh melalui komunikasi dan penafsiran atas tingkah laku maupun sikap yang ditunjukkan di dalam kegiatan pembelajaran, atau seperti yang dikatakan Dilthey sebagai empati dan rekonstruksi. Guru perlu menguasai teori-teori belajar dan psikologi perkembangan dasar yang diperlukan untuk memberikan laporan yang mendekati kondisi sebenarnya. Bentuk laporan tidak lagi diwakilkan dalam bentuk angka atau huruf, tetapi bersifat naratif. Pada rapor ini akan dilaporkan perkembangan dan kemajuan siswa. Grant Wiggins (1994) menamakannya Rapor Longitudinal.

Rapor Longitudinal
Grant Wiggins, seorang pakar assessment menyatakan pentingnya unsur perkembangan (growth) dan kemajuan (progress) di dalam bentuk rapor longitudinal:

Progress is an objective measure of performance gains made over time on a standard-referenced longitudinal scale. It is measured “backwards” from a desirable destination—the standard... Growth, by contrast, represents a judgment about whether current performance falls short of, meets, or exceeds our expectations for that particular student at that time. In a sense we look to the past, not forward to the destination (standard). (Wiggins, 1994)

Oleh karena Rapor Longitudinal ini berisi perkembangan dan kemajuan, maka bentuk rapor tidaklah mungkin hanya berisi angka dan huruf, tetapi harus lebih banyak berisi narasi mengenai perkembangan dan kemajuan siswa. Di sinilah peran guru sebagai pencatat sekaligus penafsir proses pembelajaran siswa secara tidak langsung menggunakan metode hermeneutik.
Metode hermeneutik, yang diwujudnyatakan pada pendekatan kualitatif dalam pelaporan evaluasi hasil belajar siswa ini dipertegas kepentingannya oleh Jon E. Travis:

What is needed, essentially, is a new paradigm of student assessment that incorporates the four criteria of knowledge, skills, behavior, and attitudes and emphasizes the multiple measurement approach, which is basic to sound evaluation and qualitative research. (Travis, 1996)

Lebih rincinya, Wiggins menambahkan tentang apa yang harus dilaporkan dalam Rapor Longitudinal:

What should we report ? We should relate disaggregated achievements, progress, intellectual character, and specific successes or weaknesses that are highly illustrative of overall performance. “Disaggregated” means, above all else, not using a single grade, score, or description to characterize performance in an entire subject area. Rather, what is wanted, … is the breakdown of (inherently) complex performance into its many subelements, similar to what we find on the baseball card. (Wiggins, 1994)

Singkatnya, rapor tidak lagi diisi oleh angka atau huruf, tetapi juga penjelasan mendetail atas pencapaian siswa. Bahkan ia menambahkan, perlunya dilampirkan hasil kerja, rubrik atau karya tulis siswa dalam bentuk portofolio:

Is a report card self-sufficient? No, it is not. Grades are symbols for verifiable performance and product evaluations. Thus, for the report card to be maximally informative, it must be backed up with work samples, rubrics, anchor papers, and commentary. (Wiggins, 1994)

Dengan dilengkapinya rapor dengan laporan naratif dan portofolio, orangtua dan siswa tidak lagi terpaku pada hasil akhir tanpa mendapatkan informasi untuk merefleksikan dan mengevaluasi proses pembelajaran sedang yang terjadi. Orangtua dan siswa dapat dengan lebih mudah dan lebih tepat dalam menilai dan mengambil keputusan setelah mendapatkan laporan naratif atas proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Angka-angka yang muncul di dalam rapor tidaklah menjadi sulit lagi untuk ditafsirkan, karena terdapat laporan naratif sebagai pendamping yang menjelaskan mengenai proses pembelajaran yang terjadi pada siswa sehingga mendapatkan hasil akhir seperti demikian.

Bilamana rapor siswa berisi laporan naratif atas perkembangan dan kemajuan siswa, maka tujuan evaluasi tidaklah perlu sesempit peran pengendalian mutu pendidikan saja. Tujuan sistem evaluasi hasil belajar siswa dapat dikembangkan kepada peran pemahaman mutu siswa itu sendiri.

Kesimpulan
Tujuan evaluasi yang tercantum pada undang-undang mengenai Sistem Pendidikan Nasional bersifat positivistik, hal ini setidaknya terlihat dari tujuan untuk mengendalikan mutu pendidikan. Oleh karenanya, bentuk pelaporan hasil belajar siswa terwujud hanya dalam bentuk angka dan huruf. Rapor ini tidak memadai untuk digunakan sebagai alat memperbaiki dan meremediasi proses belajar siswa.

Proses Belajar siswa meliputi perkembangan dan kemajuannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Hal ini hanya dapat dilaporkan dalam bentuk naratif melalui metode hermeneutik. Guru berempati dan merekonstruksi tingkah laku dan sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan mendokumentasikannya secara naratif. Laporan naratif ini dirangkum dalam Rapor Longitudinal, yang tidak hanya melaporkan pencapaian siswa, tetapi juga proses belajarnya.

Tujuan evaluasi yang tidak hanya berorientasi pada pengendalian mutu pendidikan tetapi pemahaman mutu siswa, akan berujung pada bentuk laporan evaluasi hasil dan proses belajar siswa.

Bibliografi
•    Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2004.
•    Hardiman, F. Budi. Melampaui Moderintas dan Positivisme. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 2003.
•    Hardiman, F. Budi. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2011.
•    LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL. NOMOR 20 TAHUN 2007 TANGGAL 11 JUNI 2007: STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN.
•    Travis, Jon E.. Meaningful Assessment. The Clearing House, Vol. 69, No. 5 (May - Jun., 1996), pp. 308-312. ylor & Francis, Ltd. 1996.
•    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003: SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.
•    Wiggins, Grant. Toward Better Report Cards. Educational Leadership, October 1994, Volume 52, Number 2, Pages 28-37. ASCD. 1994.
•    Wiggins, Grant. Defining Assessment. www.edutopia.org/grant-wiggins -assessment. Edutopia. 2002


Left and Right Brain: We've Been Deceived!

>> Monday, October 8, 2012

Sejak awal tahun 200-an, saya adalah salah satu penganut teori peran belahan otak kiri dan kanan. Hal ini dimulai dari buku yang saya baca Quantum Learning karangan Bobbi DePorter yang diterbitkan oleh Kaifa. Teori ini menyatakn bahwa otak kiri lebih berperan pada fungsi logika dan otak kiri pada fungsi kreatif. Tidak hanya sampai menjadi penganut yang setia, tidak sedikit pelatihan yang saya pernah berikan kepada siswa atau orang dewasa mengenai topik ini dalam hubungannya dengan pendidikan dan pembelajaran. Saya sangat menyukai topik ini, bahkan boleh dikatakan cukup fanatik. Saya membaca buku-buku, mendengarkan seminar-seminar dan mengumpulkan artikel-artikel yang berhubungan dengannya, sungguh sesuatu yang menyenangkan mempelajarinya. Hingga suatu saat...

Saya membaca buku karangan Margaret E. Gredler, Learning and Instruction dan saya menjadi sangat terkejut. Pemahaman saya mengenai kerja otak belahan kiri dan kanan yang sangat populer itu, ternyata hanyalah sebuah isapan jempol belaka, atau dalam dunia neurologi disebut neuromythology, sebuah mitos! Tapi, mengapa bisa sedemikian populernya teori peran belahan otak ini?

Ternyata, beginilah kisahnya,
Pada tahun 60-an dilakukan penelitian terhadap pasien pengidap epilepsi yang mengalami putusnya corpus callosum (jaringan yang menghubungkan otak belahan kanan dan kiri). Peneliti ini akhirnya hanya dapat memberikan rangsangan kepada salah satu belahan otak saja pada saat yang sama. Pada akhirnya mereka menyimpulkan bahwa dua belahan otak ini bertindak secara independen untuk proses-proses tertentu, yang pada penelitian lanjutan digolongkan dengan otak kiri untuk memproses logika dan otak kanan proses kreatif. Hasil ini kemudian dikuatkan oleh media yang terlalu menyederhanakan dan menggeneralisasi temuan-temuan ini secara sembrono.

Dalam forum-forum neurosains yang disponsori oleh Organization for Economic Co-operation and Development, keyakinan atas temuan-temuan sembrono ini disebut neuromythologies atau sebuah mitos belaka. Nah, untuk menjawab pertanyaan mengapa teori belahan otak ini menjadi sangat populer adalah karena kesederhanaan teori ini dan pengaruh media yang meledakkan hasil temuan.

Dengan adanya informasi baru mengenai teori ini, saya terus terang harus 'bertobat' dari pengertian saya yang salah. Sebagai bukti keinsyafan, saya sedang mempelajari lebih jauh mengenai akibat dari adanya belahan otak ini dan hubungannya terhadap pembelajaran. Hingga saat ini setidaknya saya menemukan dua hal:

1. Michael S. Gazzaniga dari Harvard University, menemukan bahwa belahan otak kiri cenderung bersifat menemukan dan menafsirkan sedangkan otak kanan bersifat meyatakan kebenaran dan harafiah:
"the left hemisphere is "inventive and interpreting", whilst the right brain is "truthful and literal."
2. Elkhonon Goldberg, seorang neuroscientist menjelaskan bahwa asosiasi antar belahan dalam hubungannya dengan bahasa adalah relasi antar belahan bersifat dinamis, tugas-tugas baru ditangani otak kanan dan kontrol beralih ke otak kiri setelah tugas-tugas itu menjadi sebuah rutinitas. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa perbedaan biokimia dan struktural antara kedua belahan tidak cukup untuk menyimpulkan ada yang berbeda di antara keduanya.

Dengan demikian sebaiknya teori peran belahan otak yang independen (kanan dan kiri) sudah saatnya dikuburkan dengan melakukan upacara yang sehikmat mungkin.Karena setidaknya teori ini telah berhasil menghipnotis jutaan orang dan ribuan pendidik untuk mengajarkan pada anak-anak, termasuk saya...